Analisis Realitas Sosial Dalam Cerpen Pistol Perdamaian Karya Bakdi Soemanto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses kreatif yang dilakukan pengarang melalui karya sastra sangat mungkin berasal dari kehidupan sosial yang dekat dengan kehidupan si pengarang. Kehidupan sosial biasanya diatur oleh institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Meminjam istilah Wellek dan Warren (1977:109), sastra adalah “institusi sosial yang memakai medium bahasa.” Wellek dan Warren juga menyatakan karya sastra sebagai suatu yang “menyajikan kehidupan” dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru “alam” dan dunia subjektif manusia. Kenyataan sosial yang disajikan dalam karya sastra biasanya mengambarkan kondisi sosial suatu masyarakat dengan jelas.
Pengarang dalam mengungkapkan ide-idenya memilih sastra sebagai medianya. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa, drama, atau puisi. Pengungkapan ide pengarang lewat puisi tentu akan berbeda dengan pengungkapan lewat drama. Demikian juga halnya pengungkapan dengan cerita pendek atau cerpen. Tarigan (1984:176-177), yang mengutip pendapat Ajip Rosidi, mendefinisikan cerpen sebagai “Kebetulan ide Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen adalah lengkap, bulat,dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen meski terikat pada suatu kesatuan jiwa : padat, pendek, dan lengkap. Tak ada bgaian-bagian yang boleh dikatakan ‘lebih’ dan bisa dibuang.”
Sebuah karya sastra dapat dikaji dengan menghubungkannya dengan sosiologi. Meskipun antara sastra dengan sosiologi adalah dua bidang ilmu yang berbeda tetapi mampu menjadi bidang ilmu baru yaitu sosiologi sastra. Sosiologi sastra berarti mengkaji karya sastra dengan cara menghubungkannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio kultural terhadap sastra (Damono 1978: 2). Selain itu menurut Damono (1978:6) sosiologi sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial, sementara Swingewood (dalam Faruk 1994:1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial.
Sebagaimana sosiologi, sastra juga berhubungan dengan masyarakat dalam menciptakan karya sastra tentunya tak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan. Ian Watt (1964: 300-313) dalam Damono (1978:3-4) mengklasifikasi tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, yang secara keseluruhan merupakan bagan berikut:
a. Konteks sosial pengarang. Konteks sosial pengarang ada hubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastra. Pendekatan ini meliputi: bagaimana mata pencaharian pengarang, sampai di mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi dan masyarakat yang menjadi tujuan pengarang.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat; sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Hal pokok yang perlu mendapat perhatian adalah, 1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra itu di buat, 2) sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam mengagambarkan keadaan masyarakat, 3) sejauh mana genre sastra yang dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili seluruh masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra. Meneliti sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Tiga hal yang menjadi perhatian, 1) sejauh mana sastra dapat berfungsi untuk merombak masyarakat, 2) sejauh mana sastra hanya sebagai hiburan, 3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1dan 2 di otak (Faruk 1994:4-5). Sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi keduanya saling melengkapi. Menurut Wellek dan Warren jika sastra dianggap sebagai cermin keadaan masyarakat masih sangat kabur meski sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis ( Wellek dan Warren dalam Damono 1978:3).
Cerpen “Pistol Perdamaian” karya Kuntowijoyo merupakan cerpen yang menyoroti kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Kehidupan masyarakat tersebut masih percaya dengan yahayul dan sangat erat unsur sejarah-sejarah.macam keris belati.
Melalui tokoh saya yang menjadi judul cerpen dalam Pistol Perdamaian dan tema kebudayaan masyarakat, telah menghadirkan karakteristik atau warna yang berbeda dalam kesusastraan Indonesia modern. Yang menarik dari Pistol Perdamaian ini, adalah kecenderungannya yang mengarah pada ‘’pemotretan’’ pluralisme budaya. Sehingga cerpenya Kuntowijoyo yang diplih sebagai judul buku Pistol Perdamaian, jelas mengungkapkan bagaimana persoalan diolah, diamati, dinikmati kemudian dibingkai lewat pluralisme budaya. Pistol Perdamaian sendiri mempresentasikan dua simbol kebudayaan yang berbeda: keris dan pistol.
Pistol Perdamaian misalnya sebagai judul buku, fokus pengeboran tema berangkat dari simbolisasi keris dan pistol yang dapat hidup beriring dalam sebuah zaman. Mitologi keris dan pistol mempresentasikan dua zaman berbeda! Persoalannya mengebor dari pembagian warisan pada sebuah peti yang berisi aneka senjata: keris, pistol, cundrik, ujung tombak, dan sebagainya. Kemudian, melingkar-lingkar dalam gerak-realitas sebuah keluarga. Persoalan itu menjadi runcing sebelum pada akhirnya sampai pada sebuah pengakuan.
B. Landasan Teori
Analisi ini berlandaskan pada teori sosial sastra yang menyatakan adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Teori ini menyebutkan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Hal ini dapat dikatakan demikian karena pengarang karya tersebut merupakan anggota atau bagian dari masyarakat. Selain itu, karya sastra yang dihasilkannya menampikan kondisi masyarakatnya.
Wellek dan Warren (dalam Damono, 2002:3) telah membuat klasifikasi sosiologi sastra. Klasifikasi pertama adalah sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang pangarang sebagai penghasil sastra. Klasifikasi kedua adalh sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadipokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastradan apa yang menjadi tujuannya. Klasifikasi ini mengajukan pertanyaan mengenai tujuan penulisannya seperti yang tersurat di dalam karya-karya itu dalam kaitannya dengan lingkungan sosial budaya yang telah menghasilkannya (dalam Damono, 2002:3).
Sementara itu, Ian Watt dalam sebuah artikelnya (dalam Damono, 2002:4) membicarakan hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Watt juga menyebutkan klasifikasi sosiologi sastra yang tidak banyak berbeda dengan Wellek dan Warren. Lebih lanjut, Watt menjelaskan klasifikasi “sastra sebagai sermin masyarakat.” Namun, pengertian sastra sebagai cermin masyarakat tidak selalu tepat untuk membedah sebuah karya sastra karena bisa jadi masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut tidak disuguhkan dengan teliti. Pandangan sosial pengarang tetunya masih harus diperhitungkan untuk menilai karya sastra. Akan tetapi, konsep sastra sebgai cermin atau refleksi masyarakat dapat digunakan untuk mengetahui masyarakat apa yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra. Selain itu, mengutip pendapat Grebstein (dalam Damono, 2002:6), karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan.
C. Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang penulis kaji dalam analisis cerpen “Pistol Perdamaian” adalah sebagai berikut :
1) Apa saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Pistol Perdamaian” ?
2) Bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat?
3) Bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen dan realitas sosial masyarakat?
D. Tujuan
Adapun tujuan dari analisis cerpen ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk mendeskripsikan apa saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Pistol Perdamaian”.
2) Untuk mendeskripsikan bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat.
3) Untuk mendeskripsikan bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen dan realitas sosial masyarakat.
E. Manfaat
1) Untuk memberikan informasi apa saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Pistol Perdamaian”.
2) Untuk memberikan informasi bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat.
3) Untuk memberikan informasi bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen dan realitas sosial masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Sosial yang Terkandung dalam Cerpen “Pistol Perdamaian
Kunto wijoyo bukan penganut penuh budaya jawa tetapi tradisi budaya jawa mendominasi karya-karyanya. Mitos dan takhayul dikisahkan dalam cerpen yang berjudul Pistol Perdamaian. Dalam cerpen “Pistol Perdamaian” dikisahkan bahwa tokoh saya merupakan seseorang suami yang sangat menyukai benda-benda tajam yang bersejarah, percaya dengan hal gaib dan menjunjung kebudayaan. Salah satu paragraf bagian terakhirnya tokoh saya ini diungkap sebagai seorang ahli sejarah. Hal tersebut terbukti dalam kutipan:
Untuk mengetahui cocok-tidaknya senjata harus ditayuh, artinya kita harus tidur denga senjata itu. Nanti akan dapat impian, misalnya seakan-akan di sananya kita didatangi orang yang minta ikut kita. Kalau yang dating itu anjing atau harimau itu tandanya senjata itu akan membuat kita suka cakar-cakaran atau suka berkelahi persis seperti watak yang datang dalam impian. Jangan sampai lupa me-ngayuh, sebab kelalaian itu dapat berakibattidak cocoknya senjata.
Bertolak belakang dengan kebiasaan istrinya yang kurang menyukai benda-benda tajam, tidak percaya dengan hal gaib dan menyampingkan sejarah dan kebudayaan. Kedua karakter tokoh saya dan istri sangat bertolak belakang. Beberapa usaha tokoh saya meyakinkan istri namun istri tetap menolak.
Dalam cerpen ini diceritakan pula peristiwa tentang kesaktian keris, ujung tombak dan pistol. Keris yang diberi nama Kiai Samudra, kabarnya dapat mendatangkan hujan dan sebuah ujung tombak yang diberi nama Kiai Sela yang sangat berjasa ketika tragedy seekor kerbau mengamuk. Sosok senjata tajam yang diceritakan dalam cerpen ini terkesan misterius dan menyimpan misteri. Peristiwa-peristiwa itu sepintas terlihat irasional dan sulit diterima dalam logika. Namun bagi tokoh saya atau kalangan masyarakat terdahulu, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka yang tidak mempercayainya. Tetapi ia tetap hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas masyarakat.
Terlepas dari kemistisan tema cerpen “Pistol Perdamaian” tersebut, penulis berusaha menyampaikan pesan secara langsung melalui pernyataan bahwa semua benda bersejarah seperti keris tidak semua mengandung hal gaib melainkan hanya digunakan untuk atribut ke keraton dan menyimpan benda-benda tajam tidak baik disimpan di ruang keluarga, seperti pada kutiapan dibawah ini.
Diruang keluarga katanya, katanya tidak baik untuk pendidikan anak-anak, karena ank-anak tidak boleh tumbuh dengan budaya kekerasan. Alasan saya bahwa di teve juga banyak ditayangkan budaya kekerasan, ditolak oleh istri saya, karena senjata-senjata terlalu konkret.
Suara-suara aneh pada keris dan pistol ketika bertengkar dibagian akhir cerita justru hilang begitu saja, sehingga keris, tombak, pistoltersimpan rapid an aman di lemari perpustakaan. Sebagian pembaca, kita dapat menafsirkan secara rasioanal itu merupakan hanyalah ilusi tokoh istri yang dalam dirinya masih menyimpan budaya tradisi.
B. Realitas Sosial Masyarakat
Masyarakat Jawa ke dalam tiga lingkungan sosial, yaitu desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan. Lingkungan tersebut akan memunculkan varian struktur sosial (Geertz, 1983:6-7). Banyak masyarakat yang saat ini masih percaya dengan budaya dan tradisi leluhur. Toeti Heraty, menyebutnya dalam kata pengantar, “Pistol Perdamaian” yang paling tidak, perdamaian sejuk antara lain suami isteri yang semangat dalam perbedaan pendapat, tetapi damai karena suami yang agak ‘’mistik’’ mengalah menghadapi nalar isteri yang jernih (hlm. 2). Maka melalui pemahaman yang estetis yang benar, karya sastra tentu akan mengantarkan pembaca menjadi insan yang berbudaya.
C. Hubungan Antara Faktor-Faktor Sosial yang Terkandung dalam Cerpen Pistol Perdamaian dan Realitas Sosial.
Kehadiran tokoh saya lewat “Pistol Perdamaian” sesungguhnya makin menegaskan, bahwa realitas spiritual masyarakat kita memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas; antara logika formal dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia gaib. Dalam cerpen tersebut, yang terungkapkan adalah “potret” komunitas persekitaran. Hakikatnya, cerpen-cerpen karya Kuntowijoyo merepresentasikan realitas masyarakat (budaya dan tradisi) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. Di luar perkara itu, suasana kehidupan tokoh saya dengan berbagai persoalannya, setelah sekian lama tak terdengar kini seolah-olah sengaja dihadirkan kembali dengan pertanyaan besar: di manakah peranan tokoh aku dengan benda tajam simpananya hendak ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan mempengaruhi perilaku masyarakat. Dengan begitu, dilihat dari perjalanan cerpen Indonesia, kehadiran cerpen-cerpen Kuntowijoyo, tentu saja tidak sekadar memperkaya tema cerpen ini, tetapi juga seperti menawarkan pandangan baru tentang terjadinya pergeseran antara budaya sekarang dengan budaya masa lampau.
Tokoh istri pada cerpen tersebut berpretensi menggambarkan terjadinya pergeseran budaya pada saat ini.. Atau, sangat mungkin ia sekadar menulis cerpen sambil menyentil ke sana ke mari. Tetapi di situlah fungsi sastra. Ia mengungkapkan problem individual yang maknanya sering kali bersifat universal. Faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme kerap dimasalahkan ketika hubungan kausalitas terkesan dipaksakan, dalam cerpen “Pistol Perdamaian” justru menjadi bagian penting jika dikaitkan dengan perkara keyakinan dan kebudayaan. Maka, faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme ditempatkan sebagai bagian dari rangkaian peristiwa, dalam cerpen “Pistol Perdamaian” malah menjadi bagian dari tema cerita. Di sinilah pentingnya teks tidak dilepaskan dari konteksnya, dari kultur yang mendekam di belakang yang tersurat dalam teks. Dengan pemahaman itu, faktor kebetulan punya dasar kultural, bahkan ideologis. Bukankah faktor kebetulan itu diyakini masih berada dalam lingkaran campur tangan Tuhan?
Dalam kehidupan masyarakat biasa atau masyarakat yang belum paham dengan budaya dan tradisi sejarah tentu kisah “tokoh saya dan benda tajamnya” terkesan mustahil atau irasional, namun dalam kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan kehendak Tuhan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpuan
Cerpen “Pistol Perdamaian” ini bisa jadi merupakan sebuah sarana untuk meningkatkan rasa cinta budaya dan tardisi serta benda-benda sejarah yang mana merupakan kekayaan bangsa indonesia. Kehadiran tokoh saya lewat “Pistol Perdamaian” sesungguhnya makin menegaskan, bahwa realitas spiritual masyarakat kita memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas; antara logika formal dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia gaib. Dalam cerpen tersebut, yang terungkapkan adalah “potret” komunitas persekitaran. Hakikatnya, cerpen-cerpen karya Kuntowijoyo merepresentasikan realitas masyarakat (budaya dan tradisi) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. kritik-kritik dalam cerpen tersebut tetap merupakan usaha sastrawan untuk sastrawan untuk menegur dan “menyentil” ketidakberesan yang sedang terjadi di masyarakat.
B. Saran
Dalam penulisan analisis ini, penulis beranggapan bahwa untuk menganalisis sebuah karya, dalam hal ini penulis khususkan cerpen perlu dilakukan pengkajian karya tersebut dengan lebih dalam agar analisis selanjutnya dapat lebih baik.
Menurut penulis, perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai budaya dan tradisi kepercayaan masa lampau dan kritik sosial dalam cerpen ini. Selain itu cerpen ini perlu juga dikaji melalui metode dan pendekatan yang lain.
Dengan saran ini, penulis harapkan semoga penulisan analisis selanjutnya dapat lebih baik ataupun melengkapi kekurangan penulisan analisis sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kutha. 2002. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Renne dan Austin Werren.1995. Teori Kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko.1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Faruk.1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo. 2013. Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
scribd .2010. Menganalisa karya sastra dengan pendekatan sosiologi. http://www.scribd.com/ doc/ 21269307/ menganalisis- karya-sastra-dengan-menggunakan - pendekatan-sosiologis, diunduh tanggal 1,April 2012.
Albany, Poetra. 2008. Biografi Kuntowijoyo. http://albanypoetrm. blogspot.com /2008/10/kuntowijoyo.html. diakses pada 27 Oktober 2014.
Larasaty, Dian. 2010. Pendekatan Sosiologi Sastra.http://bocahsastra.wordpress. com /2012/03/16/pendekatan-sosiologi-sastra-sebagai-alat-analisa-novel/,diunduh pada 1 April 2012.
Cahyawati, Rosia Ria. “Analisis Novel” http://rosya-cahya. blogspot.com/2011/02/analisis-novel diakses 11 November 2011
Lampiran
PISTOL PERDAMAIAN
Karya Kontowijoyo
Ayah membritahu bahwa sudah sampai waktunya membuka-buka peti kakek untuk membagi warisan. Ada satu peti penuh berisi senjata, seperti keris, cundrik, ujung tombak dan sebagainya.
Saya segera menyiapkan tempat. Maksud saya senjata-senjata itu dapa sebagai hiasan jika ditaruh dengan baik di tembok. Tapi, istri saya keberatan untuk menaruh senjata dikamar tidur, kamar tamu, kamar makan dan ruangan keluarga.
Di kamar tidur, katanya ia takut kalau saya tiba-tiba bangun dan memebawa senjata itu. Tentu saja ia enggan menyebutkan bahwa saya tiba-tiba terbangun dan membabat istri. Di kamar tamu, katanya tidak baik orang tahu kalau kami menyimpan senjata. Di kamar makan, katanya tidak enak makan sambil membayangkan peperangan. Diruang keluarga katanya, katanya tidak baik untuk pendidikan anak-anak, karena ank-anak tidak boleh tumbuh dengan budaya kekerasan. Alasan saya bahwa di teve juga banyak ditayangkan budaya kekerasan, ditolak oleh istri saya, karena senjata-senjata terlalu konkret.
Dengan kata lain istri saya takut senjata. Alasan bahwa sudah cukup umur untuk emiliki senjata. Karena saya sudah dituakan oleh masyarakat dan diangkat jadi Ketua RW, juga ditolaknya dengan dalih saya tidak boleh berubah, sebab senjata tajam tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan.
Akhirnya disepakati saya akan menaruh senjata-senjata warisan kakek di kamar perpustakaan lantai atas. Saya akan menyimpannya di salah satu rak buku. Ada dua keuntungan : senjata-senjata itu akan terbebas dari debu, karena mereka akan bersemayam didalam kaca, dan mudah dijangkau, sihingga aku dapat melihatnya.
Seperti diketahui senjata-senjata tajam termasuk barang langka yang diminati orang saat ini. Hanya saja syaratnya ada, yaitu harus cocok kantar pemakai dengan barangnya. Seorang birokrat harus memakai keris pengabdian, pasti ia akan disukai atasan dan disegani bawahan. Seorang guru jangan memakai logam mulia seorang pemberontak, sebab ia akan selalu berselisih. Demikianlah salah pakai bisa berakibat bencana, kalau tidak bagi pemakainya, ya bagi orang-orang sekitarnya.
***
Untuk mengetahui cocok-tidaknya senjata harus ditayuh, artinya kita harus tidur denga senjata itu. Nanti akan dapat impian, misalnya seakan-akan di sananya kita didatangi orang yang minta ikut kita. Kalau yang dating itu anjing atau harimau itu tandanya senjata itu akan membuat kita suka cakar-cakaran atau suka berkelahi persis seperti watak yang datang dalam impian. Jangan sampai lupa me-ngayuh, sebab kelalaian itu dapat berakibattidak cocoknya senjata.
Saya hanya pamit pada istri kalau akan menginap di desa, dan tidak mungkin istri takut, karena paginya ia harus bekerja. Tentu saja saya tidak menceritakan pada istri bahwa saya akan me-ngayuh. Dapat diduga istri saya akan melarang saya dengan alasan itu takhayul yang pasti tidak benar, syikir yang tak diampuni dosanya, atau hanya akan mengundang jin saja. Saya tidak juga percaya hal-hal yang gai, tetapi saya melakukannya karena adat.
Jadilah saya tidur dengan sebilah keris, sebuah ujung tombak, dan sebuah pistol. Saya terima pistol itu karena karena saudara yang lain menolak. Kata mereka, untuk apa barang pabrik yang tak berguna itu. Mainan anak mereka malah lebih seram.
Macam-macam cerita saudara-saudara saya. Ada yang bercerita didatangi lelaki tua. Ada yang bercerita didatangi wanita tua, ada yang bercerita didatngi gadis kencur. Adapun saya tidak meimpi apa-apa, barangkali saya terlalu rasional atau karena saya hafal satu persatu riwayat senjat-senjata itu. Karena saya rajin membantu kakek ketika pada bulan Suro ia membersihkannya.
Saya pulang dengan keris, tombak, dan pistol. Terus saja saya menyimpannya di tempat yang sudah kusiapkan, yaitu di perpustakaan. Saya agak saying barang-barang sebagus itu-pikiran saya ialah pada keris yang punya pegangan bertahtakan berlian itu-tidak diketahui orang. Ia dulu belajar pendidikan, jadi bisa dimengerti kalau tidak suka dengan hasil-hasil kesenian atau sejarah. Katanya, “Tidak ada seni kekerasan.tidak ada sejarah peperangan. No Way”.
***
Memang benar bahwa itu semua senjata. Tetapi, tidak benar bahwa semua senjata itu berdarah. Misalnya keris itu. Keris itu sering dipakai ayah kakekku untuk ke keraton. Pada suatu hari entah apa sebabnya, keris itu sudah bertengger di puncak pohon kelapa yang dekat dengan pendapa. Tahu-tahu ada orang lainyang kehilangan keris. Rupanya keris ayah kakek saya sedang berpacaran dengan sesame keris di puncak pohon kelapa.
Begitu hebatnya kesaktian keris itu. Tetapi, istri saya berpendapat lain, katanya, “ itu menunjukan bahwa raja itu berkuasa. Baru senjata eyang buyut saja sudah sakti, apalagi milik raja.”
Keris itu bernama Kiai Samudra, kabarnya dapat mendatangkan hujan. Adapun ujung tombak itu terbungkus dalam kain putih yang setiap tahun selalu diganti. Dulu di tombak itu juga ada rambutnya di pangkal ujungnya, tapi rambut itu sudah tidak ada lagi.
Ini baru kisah tentang kekerasan, entah zaman siapa, mungkin ayah ayah ayah ayah kakek ada orang tiba di gapura kademangan dan menantang perang. Ayah ayah ayah ayah kakek meladani tantangan itu, singkatnya orang itu kalah dan tombaknya dirampas. Orang itu boleh pergi, tapi sebagian rambutnya dipotong. Karena orang itu dari Desa Sela, di celah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, tombak itu disebut Kiai Sela.
Tombak itu ternyata berjasa. Ketika ada kerbau mengamuk dekat jembatan pinggir desa ayah ayah ayah ayah kakek mendengar suara bahwa kerbau itu hanya dapat dikalahkan oleh orang yang membawa tombak Kiai sela. Maka, tombak itu dipinjamkan orang. Kerbau yang kulitnya kebal dari pukulan dan senjata tajam itu tidak tahan pukulan Kiai sela.
Tapi ada saja cara istri saya untuk merendahkan tombak itu, katanya, “itu sisa-sisa budaya agraris.” Lanjutnya, “Dalam budaya agraris, kerbau melambangkan orang kuat karena kulitnya tebal atau orang jahat atau pemberontak karena warnanya hitam.” Ternyata ia tahu banyak. Ketika saya tanyakan dari mana ia tahu, jawabnya, “Tahu begitu saja”.
***
Sekarang riwayat pistol itu. Adapun pistol itu datang sendiri. Waktu itu zaman Jepang. Kakek sedang duduk di kantor kelurahan. Tiba-tiba ada orang rebut-ribut. Ada orang sedang membuang sebuah barang. Orang banyak sedang bergantian membuang sebuah pistol. Kakek mendekat dan kata seorang, “Bapak Lurah menjadi saksi, ini bukan pistol saya.”
Waktu zaman itu orang dilarang mempunyai senjata tajam, apalagi sebuah pistol. Barang itu hanya dimiliki tentara, kalau tidak akan dituduh sebagai pemberontak. Kakek segera memungut benda itu dan menyimpannya. Melaporkan ke pemerintah berarti hanya mencari gara-gara.
Demikianlah selama revolusi kakek selalu membawanya, tanpa harus mengurus isinya. Tidak seorangpun tahu kalau pistol itu kosong. Pada tahun 1965 pistol itu selalu dibawa kakek meronda dan ternyata desa kami aman, tidak ada yang terbunuh, tidak ada pembunuhan. Dengan bangga kakek menyebut dengan Pistol Perdamaian.
Tetapi, rupanya istri saya takut. Memang ada peraturan bahwa memiliki senjata api harus dengan izin khusus. Istri saya mengatakan bukan peraturan itu yang membuatnya takut. Tapi suara. Suara? Menurut istri saya ada suara gaduh diprpustakaan pada malam hari. Menurut dia itu pasti ulah keris dan tombak yang berkelahi dangan pistol. Saya mengira ada tikus di perpustakaan. Tapi tidak, kata istri saya suara itu terulang lagi, hamper tiap malam. “Begitu konkret, tidak mungkin itu hanya ilusi.” Saya memang sering menuduhnya berpikir dengan perasaannya, tida dengan nalar. Tetapi, subyektif atau tidak, kalau taruhannya adalah ketentraman rumah tangga, saya akan mengalah.
“Keris dan tombak itu budaya agraris, sedangkan pistol itu budaya industrial. Dengan keris dan tombak orang mesti kenal dengan terbunuh, sedangkan dengan pistol orang dapat membunuh dari kejauhan.”
“Tapi dalam darah kita mengalir dua jenis budaya. Ini menurut orang sekolahan”. “Mana ada keris masuk sekolah. Mana ada tombak belajar matematika.”
***
Istri saya begitu yakin tentang ketidaksesuaian antara keris dan tombak di satu pihak dengan pistol di pihak lain. Diputuskan bahwa salah satu harus dibuang. Dengan cepat saya memilih keris dan tombak, karena tidak ada pabrik yang membuat barang-barang itu lagi, sedangkan pistol selain masih dibuat jaga banyak yang lebih canggih. Walhasil, saya bertugas membuang pistol itu. Sebenarnya saying juga. Apalagi warisan itu amanat. Tetapi, apa boleh buat.
Malam hari saya bungkus pistol itu dan saya buang dibak sambah. Saya kira tugas saya selesai dan rumah kami terhindar dari suara-suara. Tapi tidak. Pagi-pagi datang Pak RT dan dua orang tukang dorong sampah. Dua orang itu bersumpah-sumpah tidak memiliki barang terlarang. Ternyata bungkusan pistol saya ditemukan dua tukang sampah itu. Pistol itu diserhakan pada pada saya untuk diproses sesuai prosedur yang berlaku. Setelah mereka pergi saya tunjukan pistol itu pada istri. Katanya saya membuangnya kurang jauh. Setelah sungguh-sungguh berusaha, baru boleh bilang itu sudah takdir. Saya disuruhnya lagi membuang, kali ini lebih jauh lagi. Maka, kembali saya harus mencium pistol itu dan mengucapkan good luckdi luar perumnas pada malam hari. Untuk beberapa hari kami terhindar dari pistol itu. Untuk beberap hari!
Dalam rapat kalurahan, setelah soal KTP dan PBB selesai dibicarakan, Pak Lurah membuka kertas Koran dan berkata tanpa interupsi, “Sebaiknya barang ini saya serahkan pada teman kita yang ahli sejarah.” Dia memberikan bungkusan itu pada saya. Isinya sebuah pistol, masya Allah. Jadi, pistol yang saya buang ke kelurahan juga jatuhnya.
Saya tunjukan pistol itu pada istri saya dengan ucapan bahwa barangkali sudah takdir untuk menyimpan pistol itu. Anehnya suara-suara di perpustakaan itu menghilang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar